Pesantren Harus Polah

Oleh:

Solikodin, S.Sos

Berubahnya paradigma berpikir masyarakat abad sekarang mengisolasi tradisi agama (baca; pesantren) semakin memudar. Akhirnya proses pendidikan yang banyak diminati oleh kaum menengah ke bawah saat ini tinggal segelintir orang. Banyak pemuda sekarang cenderung lebih memilih pada usaha berbasis skil yang diklaim memberikan pencerahan hidup lebih terjamin. Lalu adakah yang salah dengan dunia pesantren?

Minggu lalu saya sempat kedatangan kawan lama yang saat ini menjadi koresponden rcti Banyuwangi, Sholikodin yang pernah melakukan penelitian tentang degradasinya dunia pesantren (salaf). Dalam penelitian yang ia peroleh dapat disimpulkan bahwa memudarnya dunia pesantren saat ini salah satunya dipengaruhi oleh persaingan arus pendidikan formal luar yang barangkali jauh lebih menjanjikan.Berapa banyak pendidikan formal sekarang menawarkan beragam janji dan pekerjaan menggiurkan. Belum lagi progam pemerintah lewat sekolah gratis.

Meskipun ini hanya hipotesa awal, melorotnya pesantren dari percaturan masyarakat sekarang kemungkinan besar karena pendidikan pesantren salaf khususnya, tidak memiliki basis kompetisi dan arah yang tepat. Walau tidak semuanya, banyak alumni baik salaf maupun kholaf mengalami jalan buntuk setamat nyantri. Berbeda dengan mereka yang menempuh jalur pendidikan formal luar, cenderung lebih mudah menemukan pekerjaan ketimbang lulusan pesantren yang kata orang “paling-paling jadi muddin atau pemimpin doa”.

Kendati dalam metodologi agama, menjadi seorang imam, muddin atau pemimpin doa merupkan kemuliaan. Tapi kita tak bisa menampikkan fakta bahwa hidup membutuhkan perekonomian yang mengalir. Tanpa perekonomian tepat, orang akan kelabakan. Itu mengapa banyak yang saya temui alumnus pesantren salaf menganggur dan dihantam krisis perekonian. Atau mendapatkan pekerjaan kurang layak jika dibandingkan usaha waktu menjadi santri yang sarat ilmu dan akademisi.

Oleh karena itu, menurut Kodin hanya pesantren yang memiliki pendidikan formal sekarang masih ramai dan mampu bertahan hidup. Walau dtilik dari sistem, sebenarnya juga mengalami kemrosotan dan perubahan terutama nyantri hanya dijadikan “ngekos” sekolah, bukan belajar kitab kuning seperti beberapa tahun silam yang mondok/nyantri juga ikut pelajaran diniyah kepesantrenan.

Lalu pesantren modern yang kemungkinan besar hingga kini juga masih mampu mempertahankan sistem dan tradisi pesantren. Toh dengan bermacam metode dan manajerialnya yang hebat, realitanya juga mengalami penurusan santri jika dibandingkan dengan tahun-tahun silam, namun tak separah pesantren salaf.

Degradasinya pesantren saat ini, menimbulkan sebuah tanda tanya; akankah metode asli pesantren (salaf) yang khas dengan kitab kuningnya akan mati?Barangkali ia, mengingat saat ini banyak pesantren besar salaf lambat laun menggeser metodenya dari membaca kitab kuning menjadi sekolah formal. Lihatlah pesantren besar salaf seperti Lirboyo atau Ploso yang dulu terkenal hafalan alfiyahnya. Walau masih belum mendominasi, sekarang sudah memulai santrinya belajar ke luar pondok, ikut pendidikan formal milik yayasan lain.

Pada kasus lain menurut Kodin, degradasinya pesantren juga dipengaruhi oleh sepak terjang pemimpin lembaga tersebut. Dalam dunia salaf pemimpin adalah publik figur yang didewakan. Pimpinan inilah yang mengambil segara urusan maupun kebijakan santri. Sementara saat ini, dimana arus aktifitas demokrasi politik mulai berkembang di Indonesia yang mau tidak mau telah menyeret beberapa pemimpin lembaga pesantren terjun aktif dalam partai. Sehingga kegiatan mengajar di lembaga menjadi terbengkalai.

Dengan menurunnya gairah orang belajar ke pesantren, menyebabkan pesantren saat ini banyak memiliki bangunan megah tapi sunyi dari aktifitas bahkan telah mati. Ini memprihatinkan, mengingat ketika pesantren masih berada dalam keheningan dan kesederhanaan bangunan, penuh dengan aktifitas dan keramaian justru semakin ditinggalkan di saat bangunan sudah mulai modern dan fasilitas mencukupi.

Semoga kejayaan pesantren terulang kembali seperti masa silam. Kalau tidak, Indonesia akan banyak kekurangan bahkan kehilangan ketrampilan ilmu alat baca atau ahli agama.

Humas PPSH